
Jakarta: Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kini harus menghadapi gugatan perdata senilai sekitar Rp 125 triliun sendirian, setelah pihak Jaksa Pengacara Negara (JPN) ditarik dari pendampingan dalam kasus yang menyangkut ijazah SMA-nya. Awalnya, JPN ikut mendampingi karena surat gugatan dikirim melalui Sekretariat Wakil Presiden, yang dianggap keterkaitan dengan institusi negara.
Namun, selama persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, majelis hakim menyatakan bahwa materi gugatan bersifat pribadi dan tidak terkait tugas atau kebijakan jabatan Gibran sebagai wakil presiden.
Gugatan diajukan oleh seorang warga bernama Subhan, yang mempertanyakan keabsahan ijazah Gibran dari jenjang SMA atau setara, karena ijazah tersebut diperoleh di luar negeri. Subhan menilai bahwa ijazah luar negeri Gibran tidak memenuhi persyaratan minimal kelulusan SMA/Sederajat sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Pemilu dan peraturan Komisi Pemilihan Umum.
Subhan meminta pengadilan menyatakan bahwa status Gibran sebagai Wakil Presiden periode 2024–2029 tidak sah, dan juga menuntut ganti rugi materiil dan immateriil mencapai angka fantastis tersebut.
Setelah hakim menyimpulkan bahwa gugatan terkait pendidikan masa lalu Gibran dan bukan dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik, pihak kejaksaan mencabut pendampingan. Artinya, sejak itu Gibran harus bergantung pada kuasa hukum pribadinya untuk membela perkara ini.
Terkait pendidikannya di luar negeri, muncul kontroversi lebih lanjut: ada yang mengatakan bahwa lembaga pendidikan yang ditempuh Gibran, UTS Insearch di Sydney, bukanlah sekolah formal melainkan semacam persiapan untuk jenjang perguruan tinggi. Surat penyetaraan dari Kemendikbud yang menyatakan bahwa penyelesaian grade 12 di institusi tersebut dianggap setara dengan SMK di Indonesia kini menjadi sorotan publik.
Kasus ini menimbulkan diskusi luas tentang persyaratan pendidikan bagi pejabat publik, legalitas ijazah dari luar negeri, kriteria penyetaraan pendidikan, serta batasan hukum antara kehidupan pribadi dan tugas publik seorang pejabat.
Tentu ini menjadi keharusan bagi Gibran untuk menghadapi gugatan ini dengan tim hukum sendiri menjadi babak baru dalam kontestasi hukum yang cukup besar dari segi nilai gugatan, serta memasukkan unsur pro dan kontra di tengah masyarakat mengenai kredibilitas dan transparansi dalam pemerintahan.***(Sng)
(Sumber: suaradotcom)
