
Jakarta: Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025 memunculkan polemik besar di industri sawit.
Aturan ini menjadi revisi dari PP Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) bidang kebijakan dan tata kelola sumber daya alam, Budi Mulyanto, menilai PP baru ini membawa konsekuensi berat.
Denda bisa mencapai Rp 25 juta per hektar per tahun, ditambah perluasan kewenangan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).
Menurut dia, perubahan ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengganggu iklim investasi.
“PP 45/2025 memperluas kekuasaan Satgas PKH. Ada istilah penguasaan kembali, paksaan pemerintah, bahkan kewenangan mencabut izin, memblokir rekening, sampai mencegah orang keluar negeri. Walaupun denda sudah dibayar, lahan tetap bisa diambil kembali. Ini yang membuat horor, pelaku industri sawit semakin stres,” kata Budi, Minggu (5/10/2025).
Salah satu poin paling disorot adalah denda Rp 25 juta per hektar per tahun. Menurut Budi, angka ini lima sampai tujuh kali lipat lebih tinggi dari aturan sebelumnya.
“Besaran denda ini banyak dikomentari sebagai pembunuhan industri sawit. Bukan hanya menimbulkan ketakutan, tapi juga citra buruk investasi di Indonesia,” ujarnya.
Budi mengaku tidak memahami dasar perhitungan angka tersebut. “Nilai-nilai itu sebenarnya secara scientific sudah ada. Lahan hutan dengan intensitas pohon tertentu bisa dihitung. Tiba-tiba muncul angka Rp 25 juta itu pertanyaan besar,” ucapnya.
Ia menilai akar masalah bukan semata di PP 45/2025, tetapi di penetapan kawasan hutan yang sejak awal tidak mengikuti Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Menurut aturan itu, penunjukan kawasan hutan seharusnya melalui survei sosial, ekonomi, dan penguasaan tanah masyarakat. Namun praktiknya, penetapan dilakukan tanpa survei menyeluruh. Akibatnya, banyak tanah rakyat, desa, transmigrasi, hingga hak guna usaha (HGU) lama ikut masuk ke kawasan hutan.
“Ada 30.000 desa, bahkan tanah transmigran yang sudah bersertifikat masuk kawasan hutan. Itu bukti penetapan kawasan dilakukan serampangan. Inilah akar persoalan yang membuat lahan sawit masyarakat dan perusahaan tiba-tiba dianggap melanggar,” terangnya.
Budi juga menyoroti dampak aturan ini bagi masyarakat luas. Kebun milik warga yang masuk kawasan hutan bisa terkena denda.
“Hukum berlaku untuk semua. Jadi kebun masyarakat pun bisa kena. Padahal banyak tanah yang dikelola rakyat jauh sebelum ada penetapan kawasan hutan. Ini mengabaikan hak rakyat dan bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria serta HAM,” tegasnya.
Ia menyebut tanah program transmigrasi pun berpotensi terdampak, meski merupakan program resmi pemerintah. Kondisi ini menjadi bukti penetapan kawasan hutan tidak mengikuti prosedur hukum yang benar.
Budi berharap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah fundamental dengan merevisi peta kawasan hutan. Prosesnya perlu berbasis survei partisipatif yang melibatkan masyarakat, pemerintah daerah, dan aparat hukum agar batas kawasan hutan lebih legitimate.
“Saya berharap Pemerintahan Pak Prabowo membereskan akar persoalan dengan merevisi peta kawasan hutan dan melaksanakan reforma agraria. Itu sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kalau tidak, suasana gaduh ini akan terus berlanjut dan membahayakan stabilitas nasional,” terangnya lebih lanjut.
Ia menilai penataan ulang kawasan hutan akan memperjelas batas lahan rakyat yang sah.
“Kalau akar masalah dibereskan, batas kawasan hutan jadi jelas, rakyat terlindungi, dan industri berjalan. Reforma agraria bisa dilaksanakan, hak rakyat diakui, dan lahan kosong yang benar-benar milik negara bisa dipakai untuk energi, pangan, dan pembangunan,” lanjutnya.
Satgas PKH melaporkan telah menguasai kembali lahan ilegal seluas 3,31 juta hektar. Dari jumlah itu, 915.206 hektar sudah diserahkan ke kementerian terkait. Sebanyak 833.413 hektar dialokasikan kepada PT Agrinas Palma Nusantara untuk pengelolaan produktif, sedangkan 81.793 hektar dikembalikan menjadi kawasan konservasi di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau.
Sisa lahan seluas 2,39 juta hektar masih dalam proses administrasi dan akan segera diserahkan. Ketua Pelaksana Satgas PKH, Febrie Adriansyah, menegaskan penertiban kawasan hutan tidak semata berorientasi pada pidana.
Tujuannya mengembalikan penguasaan lahan kepada negara. Menurut dia, pelaku wajib mengembalikan seluruh keuntungan yang diperoleh secara tidak sah. “Apabila ada pihak yang tidak kooperatif atau mencoba menghambat implementasi kebijakan ini, penyelesaian dapat ditingkatkan ke ranah penegakan hukum pidana, baik berdasarkan hukum administrasi, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, maupun Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang,” tegas Febrie.
Langkah tegas ini diharapkan memperkuat posisi negara dalam mengelola sumber daya alam. Sebaliknya, kegagalan menjalankan kebijakan bisa berujung pada penindakan hukum yang lebih keras.***(Red)
(Sumber: Kompas)

